Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir
di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal
di Yogyakarta, 23 Februari 1923pada umur 54
tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah
putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan
adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningratpada masa itu.
Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas
dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di
antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama
Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialahMaulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan
Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru
Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad
Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama
lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampungKauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil,
yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan
pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti
Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1]Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi
Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia
pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]
Pengalaman organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang
cukup berhasil dengan berdagang batik yang
saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di
tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di
organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di
bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara
berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin
mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an danal-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada
tanggal 18 November 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai
fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai
palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di
sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan
dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain.
Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang,
yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun
ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di
tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad
Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan
itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di
daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah.
Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk
mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar
cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut. Sedangkan
di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan
dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah,
diantaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[5] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[6]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti
Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith
adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di
Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai
Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.[7]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi
dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar
dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah
lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali
pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah
AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa
Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesiamenetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan
surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1.
KH. Ahmad
Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2.
Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3.
Dengan
organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran
Islam; dan
4.
Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk
mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Kyai Haji Ahmad Dahlan
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
23 Februari 1923
Yogyakarta |
Dikenal karena
|
Pendiri Muhammadiyah
dan Pahlawan Nasional |
Pendahulu
|
Tidak ada, jabatan baru
|
Pengganti
|
|
Agama
|
Islam
|
Pasangan
|
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah Nyai Rum Nyai Aisyah Nyai Yasin |
Anak
|
Djohanah
Siradj Dahlan Siti Busyro Irfan Dahlan Siti Aisyah Siti Zaharah Dandanah |
0 komentar:
Posting Komentar